Kekerasan Atas Nama Agama, Mengapa?

Posted: September 12, 2013 in Kebudayaan

Beberapa waktu lalu, Minggu (6/2/2011), di Cikeusik, Tangerang, Banten, terjadi insiden berdarah yang menewaskan tiga orang anggota Ahmadiyah. Insiden tersebut berupa penyerangan massa yang berjumlah 1500 orang terhadap lokasi Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Ahmadiyah sudah menjadi sasaran saudaranya sendiri, umat Islam, sejak lama karena dianggap kafir. Ahmadiyah dinilai tidak pantas untuk menjadi bagian dari Agama Islam karena berbagai alasan. Di sini tidak akan dibahas mengenai mengapa Ahmadiyah dianggap kafir oleh sesama saudaranya sendiri, Muslim. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bahwa akhirnya penilaian kafir terhadap kelompok Ahmadiyah tersebut menimbulkan kekerasan sejak tahun 1950 an di Indonesia. Agama menjadi penyebab utama dari konflik “sesama Agama”tersebut[1].

Kekerasan terjadi karena alasan agama. Konflik yang melibatkan kelompok agama atau konflik yang mengatasnamakan agama masih marak terjadi di Indonesia hingga saat ini. Banyak kasus yang bisa dicatat yang terjadi di Indonesia mengenai kasus kekerasan yang mengusung isu atau melibatkan nama agama. Bulan Juni 2008 kelompok yang menamai dirinya Front Pembela Islam (FPI), menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) yang sedang memperingati Hari Kelahiran Pancasila di Monas. FPI memukuli orang-orang, termasuk di dalamnya ibu-ibu dan anak-anak, dengan benda-benda keras dan tumpul dan pasir. Puluhan orang terluka, patah hidung dan kepala bocor. Tak hanya memukul orang, massa FPI juga merusak mobil-mobil yang terparkir di sekitar lokasi tersebut. Kasus ini termasuk kategori kekerasan dengan isu agama di dalamnya karena pelaku dari kekerasan mengatasnamakan kelompok agama tertentu.

Selain itu, baru-baru ini yang sempat ramai dibicarakan di media massa adalah penusukan terhadap penatua jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Hasian Lumban Toruan Sihombing. Kasus penusukan tersebut berkaitan dengan masyarakat Muslim setempat yang tidak setuju dengan pendirian Gereja di komplek Mustika Jaya, Bekasi.[2] Dalam sebuah spanduk menunjukkan secara jelas bahwa penolakan atau konflik memakai nama agama.[3]

Kasus-kasus kekerasan di atas hendak dilihat lebih jauh apakah agama menjadi alasan utama dari banyak konflik yang terjadi di Indonesia. Lantas pertanyaan berikutnya adalah mengapa agama yang menjadi alasan atau penyebab terjadinya beberapa konflik dan kekerasan di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini akan dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, adalah Agama sebagai Kebudayaan. Pada bagian ini hendak dipaparkan mengenai agama dari perspektif sosiologis. Kedua, bagaimana kemudian menjelaskan bahwa agama menjadi salah satu akar kekerasan yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Bagian ketiga dapat dikatakan sebagai kesimpulan sementara mengenai agama sebagai alasan terjadinya konflik sosial, selain kohesi sosial. Bagian terakhir adalah tanggapan dari penulis dan usulan penyelesaian.

 

Agama sebagai Akar Kekerasan?

            Kekerasan atas nama agama adalah kekerasan kolektif atau kekerasan massa. Kekerasan tersebut menjadi bagian dari aksi massa yang terjadi di banyak tempat di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Pada zaman kekaisaran Nero, umat Kristiani mendapat pengejaran dan penyiksaan yang begitu hebat; di Jerman, penguasa Nazi membantai jutaan orang Yahudi; Di Indonesia, sejarah kekerasan banyak dicatat dan tidak sedikit yang melibatkan agama di dalamnya: konflik Ambon, Poso, penutupan dan pemboman Gereja oleh kelompok-kelompok fundamentalisme dan lain sebagainya. Bagaimana kemudian peristiwa-peristiwa tersebut hendak diterangkan?

Dalam Memahami Negativitas, Budi Hardiman mencoba mencari “struktur-struktur” dari kekerasan yang tampaknya tidak terstruktur tersebut. Kemudian Budi Hardiman memakai istilah “anatomi” kekerasan massa.[4] Dalam hal ini saya akan membatasi kekerasan atas nama agama yang bisa dimasukkan dalam kategori kekerasan massa juga karena agama dapat mewakili kelompok massa tertentu. Hardiman memakai teori Michael Bader, untuk pertama-tama membuka wawasan tentang kekerasan massa. Tesis yang diperoleh adalah bahwa kekerasan masal berasal dari tangan manusia, tetapi peristiwa kekerasan massa melampaui intensi-intensi dari pelakunya.[5] Chaos bukanlah ledakan spontan ressentiment, melainkan dipersiapkan melalui proses-proses tindakan manusia, Hardiman menambahkan. Chaos adalah bagian dari suatu proyek untuk mengubah sebuah tatanan yang dianggap tidak adil.[6] Bertitik tolak dari tesis yang diangkat oleh Budi Hardiman kemudian saya mengajak untuk melihat kekerasan/ chaos yang melibatkan atau mengatasnamakan agama. Pertanyaannya adalah apakah kekerasan yang ditimbulkan oleh kelompok agama tertentu memiliki proyek menegakkan keadilan? Dalam kasus Hardiman, peristiwa yang menjadi contoh adalah peristiwa pembantaian massal 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Dalam dua contoh kekerasan yang diberikan tersebut kita dapat melihat bahwa keadilan yang dituntut massa adalah bebas dari kepemimpinan yang totaliter, baik komunis maupun Soeharto.

Dalam kasus kekerasan yang melibatkan agama, keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan menurut Wahyu milik kelompok yang menuntut atau melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan menurut mereka adalah upaya “membela” Wahyu. Kasus yang menimpa Ahmadiyah bisa dijadikan contoh yang menunjukkan secara jelas bahwa umat Islam arus utama (mainstream) menghendaki keadilan bagi agama yang dianutnya selama ini. Mereka tidak ingin Islam mereka diracuni oleh kelompok Ahmadiyah yang membawa ajaran yang menurut mereka (Islam arus utama) sesat. Lantas kekerasan yang muncul tersebut akarnya apa? Apakah agama yang menjadi akarnya? Budi Hardiman membagi akar kekerasan tersebut menjadi tiga yang terkait dengan conditio humana, yakni: akar epistemologis, antropologis, dan sosiologis.[7]

 

  1. a.      Akar Epistemologis

Pertama adalah melihat setiap individu. Mengapa individu melakukan kekerasan? Massa yang menyerang kelompok Ahmadiyah di Cikeusik dengan sangat brutal, penuh kepuasaan, meneriakkan kebesaran Tuhan, atau berteriak “kafir” secara lantang sulit dipercaya bahwa para pelaku di dalam peristiwa ini melihat korbannya sebagai “sesama”. Dengan yang sama manusia tidak akan melakukan kekerasan karena dirinya tercermin dalam diri yang sama tersebut. “yang sama mengenal yang sama,” sebagaimana ditulis oleh Empedokles, filsuf Yunani Kuno ribuan tahun lalu. Kekerasan kemudian dilakukan terhadap yang lain. Korban diperlakukan sebagai yang lain sampai pada dehumanisasi atau diubah statusnya sebagai objek. Relasi mereka, pelaku dan korban, diterjemahkan sebagai relasi I-It, sebagaimana dinyatakan Martin Buber. Korban dipersepsikan sebagai benda dan bukan sesama.

Seseorang kemudian mengenali yang lain sebagai anggota suatu kelompok. “Dia Kristen”, “Mereka Ahmadiyah” atau “Dia makan bersama dengan komplotan pencuri”. Pada fase kolektivisasi ini orang melihat yang lain sebagai unsur yang sama suatu kelompok. Semua orang Afrika, misalnya, berkulit hitam, berambut kriting, berbadan pendek, dan berotot. Mereka kemudian dimasukkan ke dalam kategori “Negro”. Orang dalam kelompok yang sama akan semakin mudah melihat kesamaan sedangkan orang melihat kelompok lain semakin berbeda dengan dirinya. Pengenalan kolektif ini terdegradasi ke dalam bentuk stigmatisasi. Yang lain, korban kekerasan, distigmatisasi sebagai sebuah ras, agama, atau kelompok kafir. Lewat stigma kelompok dibenturkan kepada kelompok sehingga manusia tidak melihat yang lain sebagai manusia, melainkan sebagai musuh yang harus dihabisi atau dimusnahkan.

  1. b.      Akar Antropologis

Seseorang tidak semata-mata bergabung ke dalam sebuah kelompok kemudian bersama-sama melalukan kekerasan massa secara spontan atau naluriah. “Kewajaran” dalam menghabisi orang atau kelompok dimungkinkan karena individu-individu melihat kekerasan mereka sebagai tindakan yang mempunyai nilai dan patut untuk diperjuangkan. Maka, penting untuk menemukan sistem nilai yang memberikan motivasi atau mendorong seseorang untuk melakukan kekerasan sehingga kita bisa menemukan akar psikologis dari kekerasan. Seseorang akan menghabisi atau membunuh yang lain tanpa merasa salah jika tindakannya tersebut dipandang sebagai realisasi suatu nilai yang dihayati.

Pada prinsipnya manusia memiliki ketakutan terhadap kematian. Untuk mengatasi ketakutan akan kematian tersebut manusia memeluk nilai-nilai yang ditawarkan oleh berbagai institusi, salah satunya agama yang menawarkan hidup sudah mati. Nilai tersebut berfungsi mengatasi rasa panik akan kematian dalam diri manusia. Rasa panik akan muncul ketika manusia mengalami krisis makna dalam lingkungan sosial. Orang menjadi rindu akan kepastian datangnya makna. Hal ini menjadi pendorong timbulnya fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme. Ideologi-ideologi tersebut adalah upaya untuk lari dari rasa ketidakpastian yang sedang dialami.

 

  1. c.       Akar Sosiologis

Kepanikan terletak pada kesadaran dan motivasi manusia. Rasa panik berasal dari dalam diri, bukan dari luar. Sebagian manusia panik karena merasa takut menghadapi dirinya sendiri. Manusia merasa takut berada dalam kesepian, bergulat dengan dirinya sendiri dan menyadari kematiannya dengan lebih tajam. Munculnya kesepian dalam diri individu disebabkan oleh kondisi struktural masyarkat. Zaman sekarang menyulitkan seseorang untuk menunjukkan dirinya sebagai individu. Manusia terkonsentrasi pada suatu tempat di mana di situ terkumpul kekuatan modal yang memberi lapangan pekerjaan. Konsentrasi massa tersebut mengaburkan struktur-struktur sosial dan politik masyarakat itu. Misalnya, Jakarta menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam orang dari berbagai daerah dengan karakteristiknya masing-masing sehingga struktur sosial masyarakat Jakarta menjadi tidak jelas. Pertanyaan muncul siapakah masyarakat Jakarta? Secara sosiologis kita sulit mendifinisikan siapakah masyarakat Jakarta. Individu lenyap dalam kolektivitas. Masyarakat tercerabut dari komunitasnya.

Krisis tersebut kemudian diperkuat dengan benturan berbagai khasanah nilai di dalam masyarakat majemuk seperti Jakarta. Kekosongan moral dan disorientasi nilai yang dialami individu ini dapat menjelaskan mengapa suatu ideologi atau sistem nilai yang bersifat etnosentris, fasistis, fundamentalis muncul di permukaan dan menarik banyak orang yang sedang dalam situasi krisis. Seolah-olah nilai kekerasan ini menjadi nilai atau “etika semu”, demikian Hardiman mengistilahkan, sebagai pelengkap defisit psikis mereka.

 

Agama, Kohesi Sosial, dan Konflik Sosial

Satu pendekatan terhadap kohesi sosial dan agama mengatakan bahwa agama merupakan ekspresi dari kekuatan dan ideal sosial. Cara pandang ini menunjukkan bahwa di mana ada kohesi sosial, pasti diungkapkan secara religius. Durkheim mengatakan bahwa esensi agama adalah esensi sosialnya.[8] Ritus atau ritual keagamaan adalah perilaku kolektif yang menghubungkan individu pada kelompok sosial tertentu, yakni agama tertentu. Dan, keyakinan agama adalah representasi kolektif yang mengungkapkan sesuatu yang bernilai tentang kelompok tersebut.[9] Kelompok agama memberikan rasa aman bagi orang-orang yang berlindung di dalamnya. Jika di Amerika agama menjadi tempat atau sumber penting bagi para imigran. Sedangkan di tempat lain agama menjadi tempat yang aman untuk berlindung mengatasi rasa panik yang merupakan sifat naluriah manusia. Dalam arti inilah kemudian agama disebut sebagai proyeksi kesadaran kolektif.

Agama di satu pihak membawa atau mewujudkan kohesi sosial, di lain pihak agama menyumbang pula terjadinya konflik. Bagian sebelumnya sudah dipaparkan akar-akar dari kekerasan yang mana agama termasuk salah satu hal yang menimbulkan kekerasan karena agama mendorong munculnya identitas kelompok yang merupakan agama itu sendiri. Agama memasukkan seseorang ke dalam sebuah kelompok yang dibedakan dari kelompok lain. Kelompok yang satu dan yang lain tidak saling mengenali sebagai sesama karena berbeda. Hanya antara “yang sama” yang bisa saling mengenal.

Memiliki suatu agama tertentu adalah dasar dari identifikasi diri. Kekuatan rasa memiliki di antara anggota kelompok agama tersebut menyebabkan pembatasan atau pengkotak-kotakkan dalam kelompok agama tersebut maupun dalam masyarakat luas.[10] Pembatasan atau pembedaan antar kelompok ini mendorong terjadinya konflik dalam masyakat. Agama menjadi identitas kelompok yang membedakan dengan kelompok lain. Ritus-ritus yang ada di dalam suatu agama hendak merayakan identitas dan kesatuan kelompok.[11] Dengan demikian, mereka terus-menerus membatasi diri dalam kelompok tersebut dengan yang di luar kelompok. Hal ini semakin mendukung terjadinya konflik sosial.

 

Tanggapan dan Alternatif Jalan Keluar

Sejauh agama menjadi pegangan moral bagi masyarakat tanpa memberi tekanan pada pembatasan sebagai kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain, agama tetap dibutuhkan. Agama memberikan nilai-nilai moral bagi masyarakat untuk bertindak dan berelasi pula dengan yang lain yang mampu menjaga keharmonisan dalam masyarakat. Namun, ketika agama dijadikan sebagai institusi untuk membangun identitas kelompok yang membatasi diri dari yang lain, agama tidak diperlukan lagi dalam kehidupan masyarakat.

Agama yang dibahas di sini adalah agama sebagai kebudayaan yang memberikan anggotanya berbagai cara hidup yang penuh arti dalam segala kegiatan manusia. Di dalamnya tidak hanya terdapat ingatan dan nilai-nilai bersama melainkan juga institusi dan praktik-praktik yang sama (ritual).[12] Untuk mengatasi terjadinya konflik berbau agama prinsip-prinsip liberal harus ditegakkan di Indonesia. Namun, ada dua batasan mendasar pada hak-hak minoritas yang dibutuhkan untuk penegakkan prinsip-prinsip liberal:[13] pertama, tidak dibenarkan “pembatasan internal”, yakni permintaan suatu kelompok minoritas untuk membatasi kebebasan anggotanya sendiri. Hal ini penting supaya masyarakat luas terhidar dari disintegrasi. Misalnya, FPI harus dibatasi secara ketat oleh aturan hukum negara yang bisa membatasi pergerakannya sehingga tidak menimbulkan kekerasan yang merusak harmoni bangsa. Kedua, lebih memberikan “perlindungan eksternal”, yang mengurangi kerentanan minoritas terhadap keputusan dari masyarakat yang lebih besar. Keadilan liberal tidak dapat menerima hak-hak yang memungkinkan satu kelompok menekan atau mengeksploitasi kelompok lain, sebagaimana kasus Ahmadiyah di Indonesia. Perlindungan eksternal mendukung adanya kesetaraan antara kelompok-kelompok, dengan memperbaiki kerugian atau kerentanan yang diderita oleh para anggota dari kelompok tertentu. Singkat Kata, pandangan liberal mensyaratkan kebebasan di dalam kelompok minoritas, dan kesetaraan antara kelompok-kelompok minoritas dan mayoritas.

 

 

 

 

 

 

Catatan Akhir


[1] Dikatakan “sesama agama” karena dalam hal ini Ahmadiyah mengaku diri bahwa mereka merupakan bagian dari umat Muslim. Namun, memang keberadaan mereka tidak diterima atau diakui oleh kelompok Muslim mainstream.

[2] Lih. GPP: Masalah HKBP-PTI Telah Selesai, dalam: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/23/22534819/GPP.Masalah.HKBPPTI.Telah.Selesai, diunduh pada Senin, 16 Mei 2011, pkl 04.48

[3] Spanduk yang dimaksud dapat dilihat dalam: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/24/11272333/Saor.HKBP.Tulus.Terima.Opsi.Pemkot, diunduh pada Senin, 16 Mei 2011, pkl 04.50.

[4] Hardiman, Budi, Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, 2005, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 65

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm. 100

[8] McGuire, Meredith, Religion. The Social Context, 2002, Waveland Press, Illionis, hlm. 197

[9] Ibid.

[10] McGuire, Meredith, hlm. 210

[11] McGuire, Meredith, hlm. 214

[12] Kymlicka, Will, Multicultural Citizenship: a liberal theory of minority, terj. Edlina Hafmini, 2003, LP3ES, Jakarta, hlm. 114

[13] Ibid., hlm. 231-232

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment